Jiwa yang Mati

Oleh : Syaqielha

6 Februari 2009
Terang rembulan menatapku tajam
Dalam kerlip ramah sang bintang
Daku termenung dalam buai lelap malam
Berselimut angin tiada tergapai
Namun mimpi tiada terhenti
Tuk lukis nafas hidup daku nanti
Tumpukan kertas putih dengan goresan kata tak beraturan masih berserakan dihadapanku. Bertebaran penuhi latar kamarku. Jarum jam kini berkunjung pada angka 12 tepat untuk setia menemani bahtera malamku yang tak menentu. Tanganku masih terus merangkai kata demi kata menjadi lantunan sajak ungkapan hatiku.
Matanya cekung dengan garis hitam yang melingkarinya, wajahnya pucat, badannya kurus, kulitnya pasi, tampak penderitaan yang amat mendalam telah ia alami. Dunianya kini tak lagi pelangi yang mampu ia lukis dengan tinta warna-warni. Frustasi dan depresi hebat sedang mnyelimutinya, jiwanya terguncang. Kertas, bolpen biru, dan rangkaian kata lah hidupnya. Menatap langit dengan pandangan kosongnya adalah segores makna hidup baginya, hingga malaikat menjemput. Ia hanyalah sosok berselimut penderitaan dan kesedihan yang tiada usai.


9 Februari 2005
Hari ini masih aku lalui dengan penuh semangat, batang lolipop yang telah habis pun masih kupertahankan di mulutku. Kaki ku melangkah ringan memasuki gerbang sekolah lengkap dengan senyum yang masih lekat tersungging di bibirku. Seluruh proses pembelajaran pun ku ikuti dengan girang. Tak sabar kunantikan saat pulang sekolah untuk segera beranjak menemui bu Mira, guru perpustakaan di sekolahku. Akan diadakan sebuah club minat baca di sekolah, dan acara itu akan dibina oleh salah satu kampus swasta di Semarang. Ini adalah kegiatan yang sangat langka dan aku tidak akan menyia-nyikannya. Sudah lama aku menunggu acara seperti ini. Agar hobi membaca ku dapat tersalurkan dengan berdiskusi bersama dalam club.
Jam manunjukkan pukul satu siang. Aku segera berlari menuju perpustakaan sekolah, disana telah berkumpul beberapa siswa-siswi yang berminat mengikuti club tersebut. Segera kuambil posisi duduk yang peling enak sehingga dapat mendengarkan penjelasan dari bu Mira dengan baik.
“Karna semuanya sudah berkumpul, kita mulai saja. Jadi, kegiatan minat baca ini sebenarnya beragam. Dalam kegiatan ini juga diadakan lomba puisi, membuat cerpen, poster dan sebagainya, termasuk akan diadakan club minat baca. Bagi yang berminat bisa mengisi formulir yang sudah ibu sediakan. Serahkan kepada saya secepatnya. Mengerti kan?” jelas bu Mira panjang lebar.
Tanpa berpikir ba bi bu aku segera mengambil kertas formulir dan segera mengisinya. Ku serahkan kepada bu Mira.
“Benar-benar berminat nih, Ana??”
“Iya bu, minat banget. Disini jarang banget sih diadain kegiatan kayak gini. Kan langka bu, jadi nggak boleh disia-siakan dong. Kegiatannya dimulai kapan bu?”
“Insya Allah besok sepulang sekolah pengarahnya akan datang ke sini untuk memberikan pengertian dan jadwal kegiatannya. Sabar aja,”
“Sip deh bu. Makasih ya..”

10 Februari 2005
Kegiatan dimulai dengan perkenalan anggota satu demi satu. Sebelumnya diawali dengan perkenalan oleh para pembina dan peminat club dari luar sekolah. Aku bener-bener nggak nyangka, ternyata salah satu anggota dari luar adalah saudara jauh ku. Namanya Hadi. Kami memang tak pernah berhubungan. Mungkin ini saatnya memperbaiki hubungan keluarga yang mulai merenggang.
“Nama saya Anna Fitria Az Zahra. Panggil saja Ana, salam kenal semuanya”
Acara dimulai dengan diskusi ringan mengenai seorang sastrawan Putu Wijaya. Sastrawan yang sudah tersohor di Indonesia. Diskusi berjalan mengasyikkan, hingga tak terasa langit mulai gelap. Acara ditutup dengan doa bersama agar selamat sampai rumah. Sebelum pulang mas Hadi menanyakan hal mengenai keluarga kami.
“Ibu di rumah sehat An??”
“Sehat mas. Keluarga mas Hadi gimana? Sehat juga?”
“Alhamdulillah.... Anna pulang naik apa?”
“Naik sepeda mas. Sudah gelap nih, duluan ya mas.”
“Iya, hati-hati An. Salam buat ayah dan ibu di rumah.”
“Insya Allah.”
Ku kayuh sepeda ku. Kaki ku terasa berat, mungkin karena tadi aku duduk terlalu lama. Kulirik jam tangan ku, pukul 4 sore. Ternyata belum gelap. Awan mendung yang sangat tebal menyebabkan kami mengira hari sudah malam. Tapi biarlah, dari pada nanti nggak bisa pulang karena hujan deras. Lebih baik pulang sekarang saja.
Pertemuan dengan mas Hadi di club kuceritakan pada ibu. Ibu sangat kaget dengan cerita ku. Ibu juga sempat mengatakan ingin bertemu dengan mas Hadi dan keluarganya. Maklum, dulu ibu dan bude Sarah sangat dekat sebelum masalah itu terjadi. Aku juga tak mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Aku hanya ingin tali silaturahmi antara kami dapat terikat kembali.

9 April 2005
Kegiatan di club minat baca masih berjalan dengan lancar. Berkat kegiatan itu aku dan mas Hadi menjadi dekat. Lusa mas Hadi akan berangkat ke Samarinda, selain mengikuti kegiatan minat baca, mas Hadi juga mengikuti kegiatan pencinta alam dengan teman-temannya. Untuk kali ini mereka akan berpetualang ke luar Jawa, yaitu di Samarinda.
“An, sebenernya mas tu bingung mau berangkat atau nggak,”
“Kenapa mas??”
“Kamu tau kan kalau mas punya penyakit paru-paru? Sebenarnya bapak dan ibu nggak ngizinin mas pergi. Tapi mas nggak mungkin mbatalin semuanya, soalnya ini target kita dari dulu,”
“Jadi, dari kemaren mas ke Bandungan, ke Bogor, tu nggak dapet izin dari bude?? Mas tu gimana. Nggak boleh kayak gitu mas, mas kan punya penyakit berat, kalu mas kenapa-kenapa gimana? Itu namanya pakde dan bude sayang sama mas. Mereka pengen yang terbaik buat mas,”
“Ya mas sih tau. Tapi mas tetep mau ikut. Ini bakalan asyik An, disana kita bakalan ambil jalan di tengah hutan. Jadi bener-bener berpetualang, habis itu kita bakalan manjat tebing. Tinggi banget lho, mas juga nggak tahu tu tingginya berapa meter. Pokoknya mas nggak bakalan melewatkan yang satu ini. Lusa antar mas ke terminal ya. Dari sini mas mau ke Semarang dulu kumpul sama temen-temen,”
“Nggak mau, pergi aja ke terminal sendiri. Pokoknya aku nggak mau kalo mas nggak minta izin dulu sama bude dan pakde,”
“Itu nggak mungkin An. Ibu dan bapak nggak bakalan ngasih izin, sampai kapan pun nggak bakalan diizinin,”
“Ya udah. Kalau nggak dapet izin nggak usah ikut. Itu namanya nantang. Aku juga nggak mau nganter mas ke terminal. Aku nggak peduli,”
“Ayolah Ana….mas janji ini yang terakhir kali mas pergi tanpa izin. Plis, jangan bikin semangat mas hangus gitu aja dong…ya?? Sekali ini aja, ya?”
“Terserah deh,”
“Tapi ikut nganter mas ke terminal kan??”
“Iya. Dasar cerewet!”
“Nah gitu dong. Makasih ya An. Mas janji ini terakhir kalinya deh….”


11 April 2005
Terminal Pekalongan.
Bis yang akan dinaiki mas Hadi sudah datang. Mas Hadi sepertinya sudah menyiapkan semuanya. Mulai dari obat-obatan yang dibutuhkan, pakaian, perbekalan, dan tendanya. Benar-benar berjiwa petualang tinggi. Aku sempat berpikir, gimana caranya mas Hadi keluar rumah dengan tas segini gedenya dan nggak ketahuan, atau bahkan nggak ada yang ngeliat sama sekali. Ah sudahlah, mungkin sudah menjadi keahlian khususnya.
Aku datang untuk mengantar mas Hadi bersama dengan 3 orang sahabat ku. Aku mengajak mereka untuk menemaniku biar nggak sendirian.
“Ana, mas berangkat dulu ya. Doakan biar selamat sampai tujuan. Nanti kalau mas sudah sampai Semarang, mas kasih kabar. Pokoknya mas ngabarin kamu terus. Oke? Dan makasih mau nganter mas An, salam buat ibu dan ayah, titip salam juga buat bapak dan ibu mas kalau sesekali nanya sama kamu mas dimana. Bilang aja mas lagi nyari tau siapa diri mas. Ya??”
“Iya mas, Insya Allah. Mas pulang dari Samarinda kapan??”
“Mas juga belum tahu. Kalau disana mas juga dapet kerjaan kan Alhamdulillah. Tapi mas pasti pulang. Kalau mas sudah pulang, mas langsung jenguk kamu ke sekolah. Oke?”
“Tapi mas kabarin aku terus ya??”
“Sip deh putri lolipop. Hehe..,” cetusnya. Mas Hadi bener-bener tau kesukaanku.
“Hati-hati mas, jaga kesehatan.”
“Siap!!! Mas berangkat dulu ya, jangan lupa pesen mas. Salamu’alaikum.”
“Walaikumsalam,” ujar kami bertiga serempak.
Ku terus melambaikan tangan hingga bis yang membawa mas Hadi hilang dari pandangan. Sedih juga rasanya, tapi mas Hadi orangnya keras kepala. Biar bagaimana pun dia akan tetap nekat pergi. Kami pun berjalan keluar terminal untuk menunggu angkutan kota yang akan mengangkut kami.

6 Februari 2008
Aku membersihkan pakaian ku dari kotoran tepung terigu dan telur bosok yang masih saja melekat. Karna hari ini hari ulangtahunku, 3 orang sahabat ku, Erma, Wilda, dan Neli benar-benar membuatku kehabisan malu. Kami memang sudah berbeda sekolah sekarang, tetapi itu tidak membuat kami kehilangan komunikasi. Kami juga masih seperti dulu, saling tahu kegiatan dan kesibukan msing-masing. Semoga persahabatan ini akan selamanya.
Setelah selesai aku segera beranjak keluar rumah untuk menemui sahabat-sahabatku. Kita akan pergi jalan-jalan bersama. Saat itulah kejadian yang sangat menyeramkan terjadi. Saat aku hendak menyebrang di jalan besar, aku melakukan sebuah kecerobohan yang sangat memalukan. Aku berlari saja tanpa menengok kanan-kiri untuk memastikan keadaan aman-aman saja. Dari arah kanan sebuah truk pasir melaju kencang ke arah ku. Aku terus berlari. Aku terlempar ke sudut jalan. Hanya sisa teriakan keras yang sangat menusuk telinga yang dapat aku dengar. Gelap.
Saat ku buka mata, ku merasakan pening di bagian kiri kepalaku. Pedih dan perih. Kucoba gerakkan badanku, tapi aku tak sanggup. Rasanya semua badanku mati rasa dan tak dapat digerakkan sama sekali. Pandanganku buram.
“Ana..”
Ku dengar seseorang memanggil namaku. Ku lirikkan mataku.
“I..i..ibu..”
“Gimana sayang? Masih sakit?”
“Iya. Ana dimana bu? Erma, Wilda dan Neli mana? Tadi kan Ana sama mereka..,”
“Kamu di rumah sakit An, iya tadi kamu sama mereka. Tapi kalian mengalami kecelakaan, jadi kamu ada disini sekarang,” jelas ibu tak meyakinkan. Aku sedikit meragukannya.
“Tapi keadaan mereka baik-baik saja kan bu?”
“Iya, kalau kamu sudah sembuh kamu bisa menjenguk mereka. Mereka dirawat di rumah sakit ini juga kok.”
“Apa mereka mengalami hal yang sama kayak Ana bu?”
“Oh..eh.. Nggak. Yang mendapatkan luka parah Cuma kamu dan Wilda, yang lain Cuma luka ringan saja. Besok mungkin mereka akan menjengukmu kesini,”
“Benarkah?? Ibu njawabnya kok nggak meyakinkan,”
“Bener kok An, percaya deh sama ibu”
Aku mengangguk ragu.

7 Februari 2008
Hari ini Neli dan Erma datang menjengukku. Ternyata ibu tidak berbohong kepada ku. Tapi muka mereka tampak lesu dan tidak bersemangat. Aku jadi bingung menatap mereka berdua.
“Udah baekan belum An?” tanya Neli.
“Lumayan. Kalian gimana? Luka-lukanya udah sembuh??”
“Aku sih nggak pa-pa An, yang luka-luka tu Erma. Gimana Ma luka-lukanya?”
“Udah nggak pa-pa kok. Cuma luka kecil biasa,” ujar Erma seraya tersenyum mungil.
“Kalian sudah njenguk Wilda? Gimana keadaannya Nel? Aku kangen neh, pengen njenguk dia. Di rumah sakit ini juga kan?”
“E..ee..eh iya. Tadi kita juga barusan njenguk Wilda. Dia sudah baekan kok, nggak kayak kemaren keadaannya. Tenang aja An, Wilda nggak kenapa-kenapa kok. Makanya kamu cepet sembuh, jadi kita bisa bareng lagi.”
“Iya, tapi aku juga bingung sebenarnya aku kenapa. Semua badanku berat banget buat digerakin. Apalagi kakiku, kayak mati rasa,” ujarku.
Bukannya menjawab mereka justru saling pandang. Seperti ada yang disembunyikan dari aku. Ya, mereka nggak jujur sama aku. Mereka tahu apa yang terjadi tapi mereka nggak mau kasih tahu aku yang sebenarnya.
“Nel, Ma, sebenarnya apa yang terjadi sama aku dan Wilda. Aku mohon ceritakan semuanya padaku. Jangan ada yang disembunyikan gini dong. Ayolah, kita sepakat untuk jujur satu sama lain kan??”
“Bener kok An, pokoknya kamu harus banyak makan dan istirahat. Jangan lupa obat dari dokter diminum ya? Kita slalu doain kamu, besok kita kesini lagi, sekarang kamu istirahat ya??” terang mereka seraya berpamitan pulang.
Ketidakberdayaan menggerakkan tubuh membuat ku tak mampu mencegah mereka pergi. Tanganku saja masih sulit digerakkan. Biarlah, mungkin besok mereka mau memberikan penjelasan.

Koridor 2 RSU. Al-Islam
“Kita nggak mungkin menyembunyikan ini terus Ma, Ana tahu kita bohong sama dia. Kalau begini terus, bisa-bisa kita melakukan kebohongan besar!! Ini nggak boleh terjadi Ma. Apapun yang akan terjadi sama Ana nanti, itu lebih baik dari pada kita membohonginya terus menerus!”
“Aku tahu Nel, aku tahu. Tapi ini permintaan dari ibunya Ana. Dia minta kita untuk merahasiakan ini semua dari Ana, hingga datang saat yang tepat buat ngomong semuanya ke Ana,” jelas Erma.
“Tapi kapan??? Sampai Ana tahu dengan sendirinya?? Kalau sampai Ana tahu kita bohong sama dia? Dia bakalan marah besar sama kita,”
“Aku juga sempat berpikir begitu Nel, tapi ibunya Ana bilang ini permintaan dari dokter, dia bilang kita harus bisa menjaga kestabilan jiwa Ana. Kalau kita memberitahu Ana sekarang, waktunya nggak tepat, itu bisa mengguncangkan Ana. Tapi kalau sampai Ana tahu bukan dari kita, selain bisa mengguncangkan Ana, itu juga bisa menyisakan luka dihatinya. Aku bingung banget Nel,”
“Denger ya Ma, apapun yang terjadi, ini lebih baik dari pada Ana mengetahui dari mulut orang lain. Kita harus bicara dengan Ana secepatnya!”
Neli segera berlari keluar dari rumah sakit. Ia benar-benar tak ingin hal buruk menimpa sahabatnya lagi. Ia harus segera tiba di rumah, lalu ia akan menuju rumah Wilda untuk turut membantu menyiapkan pemakamannya. Kepergian Wilda sangat membuat Neli terpukul, dan akan sangat membuat Ana sangat terpukul kalau ia mengetahuinya.

10 Februari 2008
Neli bergegas melangkah menuju kamar 129, kamar Ana dirawat. Ia menjengukku sendirian, tanpa Erma yang turut menemani. Sejak kemarin juga banyak teman-teman, guru, dan keluarga yang datang untuk menjenguk dan untuk prihatin dengan keadaanku. Sesaat aku berharap mas Hadi menjengukku, tapi dimana ia sekarang juga aku nggak tahu. Sudahlah, yang jelas aku merindukannya.
“Kok sendirian Nel? Erma mana?”
“Tadi nggak sempet ngajak Erma. Lagian kayaknya dia sibuk An, biasa ngurus sanggar tarinya. Bentar lagi kan bakalan ada perlombaan, tempatnya di sanggar tari tempat Erma biasa latihan. Jadi butuh banyak persiapan An,”
“Oh…. Jadi pengen liat Erma nari lagi deh,”
“Iya. Sudah baikan kan kamu, An?”
“Ya begini deh, kamu tahu sendiri. Kalau Wilda gimana? Udah njenguk?”
Bak disambar petir Neli sangat terkejut mengengar pertanyaan dariku.
“Ada apa dengan Wilda?”
Neli terdiam ia tampak berpikir sejenak.
“Nel…”
“Begini An, maaf sebelumnya kita udah bohong sama kamu. Saat kecelakaan itu, Wilda mendorongmu ke tepi jalan, itu sebabnya kamu terlempar. Tapi Wilda terlambat untuk menyelamatkan dirinya sendiri, dia tertabrak truk pasir itu, dan kamu tersrempet mobil pick-up yang membawa tabung gas. Tabung gas itu menjatuhi kakimu, tapi saat itu kamu sudah nggak sadarkan diri. Erma juga ikut luka-luka karna mau menyeret kamu, tapi dia malah jatuh nabrak sepeda yang lewat. Terakhir kita kesini, hari itulah Wilda dimakamkan An.”
“Apa????? Kenapa kamu nggak jujur dari awal Nel? Kenapa? Wilda meninggal karena ingin nyelametin aku. Sedangkan aku?? Aku benar-benar bodoh!! Bodoh!!”
“Ana jangan nyalahin diri kamu. Ini udah kehendak-Nya, memang sudah waktunya Wilda kembali kepada-Nya. Sabar dan cobalah untuk menerima An…,”
“Nggak. Ini nggak mungkin Nel. NGGAK MUNGKIN…!!!!”
“Ana… dengerin aku, nggak ada yang nggak mungkin buat Allah. Ini garis hidup Wilda. Kita harus terima itu. Ya?”
“Nggaaak….”
Air mata deras keluar dari pelupuk mataku. Aku tak mampu menghadapi kenyataan ini. Aku benar-benar bingung dengan semua ini. Mengapa semuanya begitu cepat??
“Dan soal kaki mu, karena kejatuhan tabung gas. E…e…ehm.. jadi.. kaki mu lumpuh An. Kerusakannya sangat parah. Memang nggak sampai diamputasi, tapi untuk mencapai kata bisa berjalan itu sangat nggak mungkin, tapi aku yakin kamu bisa sembuh. Jangan putus asa ya An??”
Aku nggak bisa bicara apa pun. Kejujuran Neli justru menggores hatiku. Aku semakin tak mampu menatap hidup. Apa yang bisa kulakukan tanpa kakiku?? Mengapa dunia ini begitu jahat padaku….

10 Maret 2008
Pandanganku kosong. Entah apa yang ada di benak dan pikiranku saat ini. Semua berkutat tak menentu. Aku tak mampu lagi menata hidup. Semuanya masih terlalu cepat bagiku. Aku dan hidupku. Tak serasi. Ingin rasanya menyudahi semua ini. Tapi aku tak mungkin meninggalkan ayah dan ibu. Terlebih Neli dan Erma, mereka terlalu sayang padaku. Penantian ku akan mas Hadi juga belum usai.
“Ana, Neli dateng nih. Ngobrol bareng ya,”
Aku tetap terdiam.
“Hai An, gimana kabarnya? Baik kan??”
Tak ada jawaban.
“An, plis dong jangan gini terus. Aku tau kamu sangat terpukul dengan kematian Wilda. Aku juga tau kamu sedih dengan kondisi kamu, tapi ini bukan akhir dari segalanya An. Hidup kamu masih panjang. Aku, kamu, Erma dan Wilda pernah sepakat kan, jangan pernah pudarkan senyum manismu hingga jantung kita tak mampu lagi berdegup, dan hapus semua kenangan buruk dengan temukan kebahagiaan apapun yang ada di sekitarmu. Kamu masih inget kan? Sampai kapan kamu akan seperti ini, kita sedih ngeliat kamu begini. Kita pengen Ana yang dulu,”
Kulirikkan mataku, ku tatap wajah Neli dalam-dalam. Begitu banyak harapan yang kutemukan disana. Aku masih termenung. Entah bagaimana menghapus ini semua. Aku benar-benar takut mnghadapi hari.
“Ana, kamu masih inget sama mas Hadi??”
Pertanyaan itu. Pertanyaan yang sangat tak ku duga akan keluar dari mulut Neli. Bagaimana mungkin, dia masih ingat dengan mas Hadi. Padahal aku nyaris melupakannya. Sudah lama mas Hadi tak memberikan kabar, meski aku rindu padanya.
“Dimana dia?” aku bertanya.
Tampak senyum kepuasan terlihat pada wajah Neli mendengar jawabanku akan pertanyaannya.
“Dia sekarang di Jakarta. Dia kerja di perusahaan milik kakak iparku. Kemarin waktu mas Kiki pulang, dia bercerita tentang pegawai barunya yang berjiwa petualang besar. Kayaknya mas Kiki bangga punya pegawai seperti mas Hadi. Waktu aku tanya nama pegawainya, dia langsung menyebutkan namanya dengan bangga, Muhammad Nasir Al-Haadi. Mas Hadi memang cowok yang hebat ya,”
Aku tersenyum mendengar cerita Neli. Mas Hadi memang hebat, dia bukan orang yang mudah patah semangat mneghadapi hidupnya. Padahal ia punya penyakit yang bisa saja mengambil nyawanya kapanpun. Tapi dia mampu melalui hidupnya dengan sangat bahagia. Aku juga harus begitu.
“Kamu juga harus hebat kayak mas Hadi, An. Oke?”
“Iya. Tapi apa yang akan mas Hadi lakuin kalau ngeliat kondisi ku yang kayak gini?”
“Dia akan tetep bangga sama kamu kalau dengan keadaan kamu yang begini kamu tetep bahagia. Karna kebahagiaan adalah segalanya, tapi dia pasti sedih kalau kamu kayak gini terus. Kamu harus seperti dulu An,”
“Makasih ya Nel,”
“Gitu dong….habis ini kita ke rumahnya Erma ya. Terus kita jalan-jalan ke taman bareng. Kayak dulu lagi. Sana gih ganti baju, aku tunggu di depan ya,”
“Iya,” ujarku melepas kepergian Neli keluar kamarku.

17 April 2008
Daun sunyi masih saja berbisik
Terus tanyakan akan hati terusik
Duniaku yang kini kereta dalam laut
Membagi sang samudra
Meniti detik kehidupan
Menanti sosok yang dinanti
Kini bukanlah hari lagi
Daku dan goresan nada hati
Masih menanti dan terus menanti
Hari ini aku dan Erma akan jalan-jalan ke taman kota. Kita akan makan siomay disana. Aku dan Erma berangkat bareng dari rumah, sedangkan Neli langsung ke taman kota, dia bilang ada urusan yang harus diselesaikan jadi dia langsung menyusul kami ke taman. Sesampainya di taman Erma membantu mendorong kursi roda ku. Kami menunggu Neli di bangku taman. Nggak butuh waktu lama, Neli sudah tampak melambaikan tangan dari kejauhan.
Kami langsung memilih warung siomay langganan kita. Aku meminta Erma menghadapkan aku dan kursi roda ku ke lapangan bola, ditemani sepiring siomay dan segelas es kelapa muda sambil menyaksikan anak-anak bermain bola sangat menyenangkan. Betapa senangnya bisa berlari kesana kemari, menendang bola, andai aku masih bisa seperti itu. Sesaat aku mereasakan kesedihan yang amat mendalam, menghujam batinku. Aku benar-benar menyesali kejadian waktu itu. Ini semua berkat kecerobohan dan kelalaian ku. Aku benar-benar bodoh. Tak terasa aku menitikkan air mata, kesedihan yang aku rasa terlalu dalam. Kematian Wilda yang sangat membuat ku merasa bersalah, betapa hinanya aku menikmati hidup sedangkan Wilda tlah jauh pergi entah kemana.
Tiba-tiba pandanganku tertuju pada sosok yang jauh disana. Kutepis air mata yang keluar dari pelupuk mataku. Kuperhatikan dengan seksama sosok itu, ya, aku nggak salah lagi. Itu mas Edo, teman dekat mas Hadi. Aku harus kesana, mungkin aja mas Hadi ada disana. Sudah 3 tahun aku menanti mas Hadi pulang, dan mas Hadi sudah nggak pernah kasih kabar. Kalau benar mas Hadi ada disana, aku nggak tahu apa yang akan aku rasakan. Aku seneng banget.
“Nel…Neli!! Bawa aku kesana dong..,” pintaku.
“Emangnya ada apaan sih An?” tanya Erma.
“Ada mas Edo, Ma. Mas Edo. Dia itu temen deketnya mas Hadi. Mungkin aja ada mas Hadi disana,”
“Mas Edo??? Ya udah, kita coba kesana ya,” timpal Neli.
Kami berjalan menemui mas Edo. Aku benar-benar tidak sabar untuk bertemu degan mas hadi. Toh kalau ternyata mas Hadi nggak ada disana aku masih bisa mencari tahu informasi tentang mas Hadi dari mas Edo.
“Mas Edo..!!!” teriakku.
Mas Edo menoleh mencari arah suara yang memanggilnya. Ia tampak bingung mencari-cari sumber suara itu. Tapi ia bisa mengenaliku.
“A..Ana???” jawabnya menebak ragu-ragu.
“Iya mas, apa kabar? Lama nggak ketemu, udah balik ya? Kapan?”
“Baik. Aku balik kemaren lusa, kamu sendiri gimana kabarnya An?”
“Ya gini deh kayak mas Edo liat sendiri. Oh ya ini sahabat-sahabat ku, masih inget nggak??”
“Masih lah… Neli sama Erma kan?? Lho, yang satunya mana? Si Wilda?”
Aku semakin merasa bersalah mendengar pertanyaan dari mas Edo. Kenapa semua ini harus terjadi? Bolehkah aku mengulang waktu itu? Agar ku gantikan posisi Wilda.
“Ehm… Wilda sudah meninggal mas. Kita dapet musibah kecelakaan. Wilda nggak bisa selamat dan Ana harus pakai kursi roda,” jelas Erma pada mas Edo.
“Oh maaf. Aku turut berduka cita atas meninggalnya Wilda. Dan aku prihatin sama kondisi kamu An, jangan nyerah ya, aku slalu doain kamu,” terang mas Edo.
“Makasih banyak mas,” ujarku.
“Oh ya, kabar mas Hadi gimana mas? Kita semua kangen lho. Kemaren lusa ikut mas Edo pulang juga nggak? Apa dia masih sibuk sama kerjaan barunya?” tanya Neli mengalihkan pembicaraan kami. Neli sepertinya mengerti bahwa aku tak sabar bertemu dengan mas Hadi.
“Oh Hadi, dia ada disini juga kok. Kemaren dia ikut aku pulang, katanya kangen sama rumah. Kayaknya lagi cari makan deh, soalnya tadi dia belum sarapan. Bentar lagi juga kesini. Tungguin aja.”
Aku sangat senang mendengar jawaban dari mas Edo. Sebentar lagi aku bisa bertemu dengan mas Hadi. Aku kangen berat sama dia. Sudah 3 tahun kita nggak bertemu. Apa dia semakin dewasa? Atau masih tetap keras kepala dan tukang nekat??? Ah, aku tak sabar lagi.
“Itu dia,” ujar mas Edo seraya menunjukkan mas Hadi yang sedang berjalan ke arah kami.
Aku benar-benar terkejut dengan penampilan mas Hadi. Dia tampak semakin dewasa, dari cara berpakaiannya, mas Hadi sudah berubah. Apa mungkin sifat mas Hadi juga berubah?? Tapi dari cara dia berjalan, masih keliatan kalau dia cowok nekat dan grusa-grusu.
“Hei Di. Buruan, banyak yang nungguin nih!” teriak mas Edo. Dari kejauhan tampak mas Hadi bergegas berlari mengengar teriakan mas Edo. Aku jadi bingung mau bilang apa kepada mas Hadi.
“Sorry lama. Ada apa sih Ed, kok rame amat?? Hosh..hosh..”
“Mas Hadi??? Apa kabar?” tanyaku. Aku nggak bisa menutupi rasa rinduku yang besar padanya.
“Eh..e.. baek kok.”
“Mas pulang kapan? Katanya kalau pulang mau kasih oleh-oleh buat kita?? Mana nih?? Jangan-jangan bohong lagi,” tagihku pada mas Hadi.
“Eh..e..e.. maaf, boleh tahu kamu siapa?” tanya mas Hadi.
Aku benar-benar terkejut mendengar pertanyaan mas Hadi. Aku nggak percaya kalau mas Hadi lupa dengan ku. Mas Edo masih mengingat ku, Neli, Erma dan Wilda dengan baik. Mana mungkin mas Hadi lupa gitu aja. Aku menangis. Aku benar-benar sedih.
“Aku Ana mas, Anna Fitria Az Zahra, kita pernah seclub dulu di minat baca. Masa nggak inget sih?”
“Memang sih, kayaknya aku pernah ketemu sama kamu. Kamu anaknya bude Fatimah kan?? Tapi, apa aku pernah ikut club minat baca ya? Kok aku nggak inget?”
“Ya Allah Di… dia ini Ana. Cewek yang udah kamu anggep kayak adek kamu sendiri. Dulu waktu kamu pergi ke Bogor, ke Samarinda, kamu nggak dapet restu dari orangtua kamu, tapi Ana yang ngedukung kamu. Emang Ana sudah berubah sekarang, dia nggak bisa jalan karena kecelakaan beberapa bulan lalu. Tapi dia tetep Ana, cewek yang slalu kamu ceritain sama aku setiap kali kamu punya kesempatan buat curhat. Masa kamu lupa sama Ana??”
“Kalau lupa mungkin enggak Ed. Tapi kalau terlupakan, bisa iya,” jawab mas Hadi. Enteng, seakan tanpa beban.
Aku sudah nggak kuat lagi. Ku dorong roda kursi ku melewati terjalnya liku jalan. Kutinggalkan mereka. Ini terlalu kejam bagiku. Semudah itukah aku untuk dilupakan?? Apa keberadaan ku sudah nggak ada artinya?? Mas Hadi sungguh keterlaluan. Aku tak mengerti. Untuk apa aku menantikannya?? Kalau hanya luka yang aku dapat. Hidup ku cukup menderita. Ya Allah, jiwa ku telah mati.
“Ana tunggu!!! Ana…!!!”
Tak ku hiraukan teriakan mereka. Aku terus mendorong roda kursiku agar cepat sampai ke rumah. Aku ingin kamarku, aku rindu kamarku.
Sesampainya di rumah aku segera masuk kamar dan mengunci diri di dalam. Kini tinggal diriku dan semua perasaan yang tak menentu. Aku sudah tak bisa mengahadapi hidup yang seperti ini. Haruskah berakhir??
2 bulan yang lalu aku kehilangan Wilda, semua karena salahku. Karena semua kebodohan ku. Lalu aku kehilangan kaki ku, kemampuan berjalan ku punah. Kini aku harus merelakan mas Hadi lupa pada ku. Padahal penantianku sangat lama, janji nya masih ku pegang erat. Tapi kini semua hanya memori dalam kepalaku. Hari-hari yang kami berempat lalui harus kurusak dengan kematian Wilda. Kematian yang seharusnya tak terjadi andai saja kebodohan ku ini tak muncul. Aku benar-benar merepotkan. Kalau saja Wilda bisa kembali ke dunia ini, dia pasti marah besar pada ku. Dia akan memaki ku. Aku sudah melukai hatinya. Aku benar-benar jahat.
Ketidakmampuan ku untuk berjalan bukan apa-apa dibandingkan dengan kehilangan nyawa yang telah Wilda alami. Mungkin mas Hadi lupa padaku adalah karma kedua setelah cacat pada kaki ku karena sudah membuat Wilda tewas. Kenapa kau nggak dipenjara??? Apa pemerintahan sudah buta??? Aku ini pembunuh!! Pembunuh!!
“Aku pembunuh…!!! PEMBUNUUUUHHH….!!!!!”

6 Februari 2009
Seiring… meredupnya lilin
Mencari tahu akhir jalan ku
Selemah… sinar senja punah
Perlahan sakit hatinya mati
Apa yang kan terjadi pastinya kan terjadi
Biar waktu yang menghakimi
Dan aku…. akan.. terus bertahan
Mengharapkannya…
Manantikannya…
My Dear Dishya, apa yang kau dengar
Saat angin menyentuh hati mu..
Alunan lagu dari Sheila On 7 masih terdengar dari kamar Ana. Kesedihan turut mengalun dari nada lagu itu. Kondisi Ana sangat buruk. Jiwanya benar-benar tak dapat ditolong lagi. Kini dia hanya mengurung diri di kamar, ditemani dengan berjuta helai kertas, pulpen biru, dan lagu sedihnya. Tubuhnya kurus, matanya cekung dan menghitam, badannya lemas, wajahnya pucat pasi. Jika orang melihat, ia pasti akan menyebutnya “Mayat Hidup”. Setiap hari ia hanya menulis dan menulis, rangkaian kata ia susun menjadi sajak puisi kepedihan. Setiap malam ia tak pernah terpejam walau sekali. Pandangannya selalu kosong menatap wajah bulan.
Rambutnya berterbangan terkena angin malam. Rontokkan rambutnya pun berterbangan kian kemari. Kondisinya sangat tak sehat. Sudah banyak dokter dan psikologi yang menanganinya. Tapi hasilnya nihil. Ana terlalu larut dalam kesedihannya. Neli dan Erma, mereka sudah berkali-kali memberikan semangat pada Ana. Tapi Ana hanya menangis dan terus menangis. Mas Edo juga sempat menjenguknya, namun setiap perkataan yang terlontar seakan tak dihiraukan. Ana hanya menatap keluar jendela kamar dengan matanya yang sendu. Tak ada jawaban dari bibir kering ungunya.
Ana seperti merasakan dingin setiap malan, tapi ia tak pernah lagi meminta selimut atau kopi hangat dari ibunya. Dia telah mati rasa, hingga kematian benar-benar menjemputnya. Tangannya sedingin es, bibirnya ungu menahan dingin setiap malam. Setiap malam Ana tak pernah menutup jendela, kalau tak menulis ia akan duduk di bibir jendela menatap sang bulan.
Hingga mas Hadi datang menjenguk keadaan Ana. Entah apa yang membawanya kemari, mungkin ia sadari kesalahannya. Atau mungkin dia rindu sosok adiknya, yang telah lama ia lupakan. Ibu Ana tak melarang. Ia memperbolehkan mas Hadi memasuki kamar Ana.
“Ana…,”
Ana tak menoleh. Ia tersandar pada sudut tembok kamar dengan tinta biru yang berceceran kemana-mana. Kakinya tertekuk, namun ia seakan tak merasakan sakit. Bajunya tak lagi putih, kertas ditangannya penuh dengan rangkaian kata. Mas Hadi memungutnya,
Terjerembab ku dalam sepi
Saat ku padamkan lampu hidupnya
Ketika kurobohkan angan mimpinya
Siapa daku???
Sang penyihir kegelapan penuh amarah
Mengancurkan kebahagiaan insan
Akulah pembunuh…
Pembunuh yang tak terkuak
Tiada tersadar mreka semua
Akan aku, binatang liar yang mereka pelihara
Mereka salah…!!! Mereka buta!!!
Kepedihan nafas hidup-lah nafsuku
Karna aku adalah penjahat dunia
Kamana kau???
Yang ku nanti akan sosoknya
Akan harum tubuhnya
Tapi kau tak kan mengerti
Akulah sosok yang terlupakan
Yang telah engkau lupakan
Sadarkah kau nafas bagiku???
Api membara dalam hatiku???
Kemana kau??? Kejamnya kau tinggalkan ku
Setelah sekian lama penantianku
Seakan semuanya tiada berarti
Sejuknya embun pagi bukan lagi hak ku
Ramahnya mentari pagi tak lagi pesona ku
Senyum sang bulan pun bukan lagi elok ku
Namun gelapnya dunia adalah tempat ku
Kala semua orang meragu
Kala semua orang terbangun
Tak kan ku biarkan mereka menatap ku
Menyaksikan kejahtan ku
Aku gadis penuh dendam akan kehidupan
Yang haus akan penderitaan…
Mas Hadi menangis, ia baru tersadar betapa bodoh dirinya. Sekian lama Ana menunggu sosoknya. Tapi ia justru melupakannya. Dan ia terlambat, ia terlambat untuk menyelamatkan Ana. Terlambat menyadarkan jiwa Ana. Terlambat pula menyadari betapa ia sangat menyayangi dan merindukan Ana. Betapa ia sangat mengasihi Ana. Tapi semuanya tiada berarti.
“Ana maafkan mas Hadi, mas tidak pernah melupakanmu. Mas sayang sama Ana, ku mohon maafkan mas. Mas memang sudah berbohong padamu. Mengapa mas baru mengerti sekarang?? Ana….. jangan pernah tinggalkan mas. Mas akan selalu menyayangimu, selamanya. Bicaralah Ana, mas ingin melihat senyum riang mu. Mas ingin kita seperti dulu. Kita akan jalan-jalan bersama. Akan mas belikan lolipop yang sangat banyak untuk mu.
“Mas tahu kamu pasti sangat benci pada mas, tapi mas mohon tersenyumlah. Pukul mas Hadi An.. pukul…!!! mas pantas mendapatkannya. Sembuhlah Ana, hidupmu masih panjang. Mas janji tidak akan pernah mengganggu hidupmu lagi. Tersenyumlah Ana, buat bude Fatimah bahagia. Ia sangat lama menantimu. Sama seperti Ana yang telah lama menanti mas. Tapi mas yakin, bude nggak akan pernah mengecewakan Ana, karena bude bukan mas. Ana… mas mohon bicaralah… tersenyumlah…”
Mas Hadi terus mencoba dan mencoba agar Ana terbangun dari tidur panjangnya. Ibu Ana menangis sesenggukan menyaksikan drama yang sangat menyedihkan. Mas Hadi mengusap-ngusap kepala Ana. Dia menangis, menangis sejadinya. Tapi Ana tak merespon apa-apa. Ia hanya bisa menangis sambil menekuk kedua tangannya dan meletakkannya di dada. Jari-jari tangan kanannya berada di mulut, menutupi bibir keringnya. Ia menangis hebat. Tubuhnya terguncang.
“Ana maafkan mas Hadi….” ujar mas Hadi sambil memeluk Ana dengan erat. Ia cium kening Ana. Betapa sayangnya ia pada Ana, tapi semua terlambat.

11 April 2009
WARTA BERITA
Sabtu, (11/4) seorang gadis belia dengan identitas bernama Anna Fitria Az Zahra (17) tewas terkapar dengan badan hancur setelah melompat dari lantai dua rumahnya. Kejadianya tepat pada malam sabtu saat semua perhatian orang lalai padanya. Gadis yang diperkirakan mempunyai gangguan jiwa ini diduga bunuh diri karena depresi berat yang dideritanya. Ibunya, Fatimatuz Zahroh masih belum bisa dimintai keterangan.
“Aku benar-benar tidak tahu kenapa Ana bunuh diri. Jadi saya mohon temen-teman wartawan jangan memberitakan yang tidak-tidak. Saya sebagai sahabatnya sangat sedih mendengar kematian Ana. Ibunya, masih sangat terpukul, jadi maaf kalau belum bisa dimintai keterangan,” terang Neli, sahabat korban.
Kematian Ana yang sangat mengenaskan membuat keluarganya tak mampu menahan kesedihan. Terlebih ibu dan bapaknya, Muhammad Ali. Peristiwa ini menambah deret jumlah kematian akibat bunuh diri di Indonesia, terlebih di kalangan remaja. Sulitnya mengontrol emosi remaja membuat . . . . .

11 Mei 2009
. . .
Seiring… meredupnya lilin
Mencari tahu akhir jalan ku
Selemah… sinar senja punah
Perlahan sakit hatinya mati
Apa yang kan terjadi pastinya kan terjadi
Biar waktu yang menghakimi
Dan aku…. akan.. terus bertahan
Mengharapkannya…
Manantikannya…
My Dear Dishya, apa yang kau dengar
Saat angin menyentuh hati mu..
Tangan renta Fatimah memutar lagu kesayangan anaknya yang kini tepat sebulan telah tiada. Kerinduannya yang amat mendalam membuatnya sangat sedih. Terkadang ia tak ingin makan. Ia sangat menyayangkan kematian anak semata wayangnya. Entah bagaimana dengan hidupnya.

- Selesai -

Pekalongan, Bendan, 21 April 2009
Pukul 14 : 53 siang
Hari Kartini Indonesia

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Twitter
  • RSS
Read Comments

0 Response to "Jiwa yang Mati"

Posting Komentar